Entri Populer

26 November 2011

Perginya Sang Kekasih Allah

ketika demam nabi
kembali.,
kini panasnya semakin
tinggi..
Lemah ia berbaring,
menghadapkan wajah
pada
Fatimah anak
kesayangan.
Sudah beberapa hari
terakhir,
kesehatannya tidak lagi
menawan..
Ketika Al-Musthafa
berada
dihadapan
Ku pandangi pesonanya
dari
ujung kaki hingga
kepala,
Tahukah kalian apa
yang
terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar ra)
-----......------......-----
Nabi demam kembali,
kini
panasnya semakin
tinggi.
Lemah ia berbaring,
menghadapkan wajah
pada
Fatimah anak
kesayangan.
Sudah beberapa hari
terakhir,
kesehatannya tidak lagi
menawan. Senin itu,
kediaman
manusia paripurna
didatangi
seorang berkebangsaan
Arab
dengan wajah rupawan.
Di
depan pintu, ia
mengucapkan
salam
"Assalamu’alaikum
duhai para keluarga Nabi
dan
sumber kerasulan,
bolehkah
saya menjumpai
kekasih
Allah?". Fatimah yang
sedang
mengurusi ayahnya,
tegak dan
berdiri di belakang pintu
"Wahai Abdullah,
Rasulullah
sedang sibuk dengan
dirinya
sendiri". Fatimah
berharap
tamu itu mengerti dan
pergi,
namun suara asing
semula
kembali mengucapkan
salam
yang pertama.
"Alaikumussalam, hai
hamba
Allah" kali ini Nabi yang
menjawabnya.
"Anakku sayang,
tahukah
engkau siapakah yang
kini
sedang berada di luar?"
"Tidak tahu ayah, bulu
kudukku meremang
mendengar suaranya"
"Sayang, dengarkan
baik-baik,
di luar itu adalah dia,
pemusnah kesenangan
dunia,
pemutus nafas di raga
dan
penambah ramai para
ahli
kubur". Jawaban nabi
terakhir
membuat fatimah jatuh
terduduk. Fatimah
menangis
seperti anak kecil.
"Ayah, kapan lagi aku
akan
mendengar dirimu
bertutur,
harus bagaimana aku
menuntaskan kerinduan
kasih
sayang engkau, tak
akan lagi
ku memandang wajah
kesayangan ayahanda"
pedih
Fatimah. Nabi
tersenyum, lirih
ia memanggil " Sayang,
mendekatlah,
kemarikan
pendengaranmu
sebentar".
Fatimah menurut, dan
Kekasih
Allah itu berbisik mesra
di
telinga anaknya,
"Engkau
adalah keluargaku yang
pertama kali menyusul
sebentar kemudian".
Seketika
wajah fatimah tidak lagi
pasi
tapi bersinar.
Lalu kemudian, Fatimah
mempersilahkan tamu
itu
masuk. Malaikat
pencabut
maut berparas jelita itu
pun
kini berada di samping
Muhammad.
"Assalamu’alaikum ya
utusan
Allah" dengan takzim
malaikat
memberi salam.
"Salam sejahtera juga
untukmu
pelaksana perintah
Allah,
apakah tugasmu saat
ini,
berziarah ataukah
mencabut
nyawa si lemah?" tanya
nabi.
Angin berhembus dingin.
"Aku datang untuk
keduanya,
berziarah dan mencabut
nyawamu, itupun
setelah
engkau perkenankan,
jika tidak
Allah memerintahkanku
untuk
kembali"
"Di manakah engkau
tinggalkan Jibril? Duhai
izrail?"
"Ia ku tinggal di atas
langit
dunia".
Tak lama kemudian,
Jibril pun
datang dan memberikan
salam
kepada seseorang yang
juga
dicintanya karena Allah.
"Ya Jibril, gembirakanlah
aku
saat ini" pinta Al-
Musthafa.
Terdengar Jibril
bersuara pelan
di dekat telinga manusia
pilihan, "Sesungguhnya
pintu
langit telah di buka, dan
para
Malaikat tengah
berbaris
menunggu sebuah
kedatangan,
bahkan pintu-pintu
surga juga
telah di lapangkan
hingga
terlihat para bidadari
yang
telah berhias
menyongsong
kehadiran yang paling
ditunggu-tunggu".
"Alhamdulillah, betapa
Allah
maha penyayang"
sendu Nabi,
wajahnya masih saja
pucat
pasi.
"Dan Jibril, masukkan
kesenangan dalam hati
ini,
bagaimana keadaan
ummatku
nanti".
"Aku beri engkau
sebuah
kabar akbar, Allah telah
berfirman,
"Sesungguhnya
Aku, telah
mengharamkan
surga bagi semua Nabi,
sebelum engkau
memasukinya
pertama kali, dan Allah
mengharamkan pula
sekalian
umat manusia sebelum
pengikutmu yang
terlebih
dahulu memasukinya"
Jawaban
Jibril itu begitu
berpengaruh.
Maha suci Allah, wajah
Nabi
dilingkupi denyar cahaya.
Nabi
tersenyum gembira.
Betapa ia
seperti tidak sakit lagi.
Dan ia
pun menyuruh malaikat
izrail
mendekat dan
menjalankan
amanah Allah.
Izrail, melakukan
tugasnya.
Perlahan anggota tubuh
pembawa cahaya
kepada dunia
satu persatu tidak
bergerak
lagi. Nafas manusia
pembawa
berita gembira itu
semakin
terhembus jarang.
Pandangan
manusia pemberi
peringatan
itu kian meredup sunyi.
Hingga
ketika ruhnya telah
berada di
pusat dan dalam
genggaman
Izrail, nabi sempat
bertutur,
"Alangkah beratnya
penderitaan maut". Jibril
berpaling tak sanggup
memandangi sosok
yang selalu
ia dampingi di segala
situasi.
"Apakah engkau
membenciku
Jibril"
"Siapakah yang sampai
hati
melihatmu dalam
keadaan
sekarat ini, duhai cinta,"
jawabnya sendu.
Sebelum segala tentang
manusia terindah ini
menjadi
kenangan, dari bibir
manis itu
terdengar panggilan
perlahan
"Ummatku …
Ummatku….".
Dan ia pun dengan
sempurna
kembali. Nabi
Muhammad Saw,
pergi dengan
tersenyum, pada
hari senin 12 Rabi'ul
Awal,
ketika matahari telah
tergelincir, dalam usia
63
tahun.
Muhammad, Nabi yang
Ummi,
Kekasih para sahabat di
masanya dan di
sepanjang usia
semesta, meninggalkan
gemilang cahaya kepada
dunia.
Muhammad, pemberi
peringatan kepada
semua
manusia, menorehkan
dalam-
dalam tinta keikhlasan
di
lembaran sejarah.
Muhammad,
yang bersumpah
dengan
banyak panorama indah
alam:
"demi siang bila datang
dengan
benderang cahaya, demi
malam ketika telah
mengembang, demi
matahari
sepenggalah naik", telah
membumbungkan Islam
kepada cakrawala
megah di
angkasa sana. Ia,
Muhammad,
menembus setiap
gendang
telinga sahabatnya
dengan
banyak kuntum-kuntum
sabda
pengarah dalam
menjalani
kehidupan. Ia,
Muhammad,
yang di sanjung semua
malaikat di setiap
tingkatan
langit, berbicara tentang
surga, sebagai tebusan
utama,
bagi setiap amalan yang
dikerjakan. Ia,
Muhammad
yang selalu menyayangi
fakir
miskin dan anak yatim,
menggelorakan perintah
untuk
senantiasa
memperhatikan
manusia lain yang
berkekurangan. Dan Ia,
Muhammad, tak akan
pernah
kembali lagi.
Sungguh, Madinah
berubah
kelabu. Banyak manusia
terlunta di sana.
----.....-----.....-----
Dan Aisyah ra, yang
pangkuannya menjadi
tempat
singgah kepala
Rasulullah di
saat terakhir
kehidupannya,
menyenandungkan syair
kenangan untuk sang
penerang, suaranya
bening.
Syahdunya
membumbung ke
jauh angkasa. Beginilah
Aisyah
menyanjung sang Nabi
yang
telah pergi:
Wahai manusia yang
tidak
sekalipun mengenakan
sutera,
Yang tidak pernah
sejeda pun
membaringkan raga
pada
empuknya tilam
Wahai kekasih yang kini
telah
meninggalkan dunia,
Ku tau perut mu tak
pernah
kenyang dengan pulut
lembut
roti gandum
Duhai, yang lebih
memilih tikar
sebagai alas
pembaringan
Duhai, yang tidak
pernah
terlelap sepanjang
malam
karena takut sentuhan
neraka
Sa ’ir
----.....-----.....-----
Dan Umar r.a yang
paling
dekat dengan musuh di
setiap
medan jihad itu, kini
menghunus pedang.
Pedang itu
menurutnya
diperuntukkan
untuk setiap mulut
yang berani
menyebut kekasih
kesayangannya telah
kembali
kepada Allah. Umar
tatap
wajah-wajah para
sahabat itu
setajam mata
pedangnya,
meyakinkan mereka
bahwa
Umar sungguh-sungguh.
Umar
terguncang. Umar
bersumpah.
Umar berteriak lantang.
Umar
menjadi sedemikian
garang. Ia
berdiri di hadapan para
sahabat yang terlunta-
lunta
menunggu kabar
manusia yang
dicinta.
-----.....-----.....-----
Dan Abu Bakar, sahabat
yang
paling lembut hatinya,
melangkah pelan
menuju jasad
manusia mulia.
Langkahnya
berjinjit, khawatir kan
mengganggu seseorang
yang
tidur berkekalan,
pandangannya lurus
pada
sesosok cinta yang
dikasihinya
sejak pertama
berjumpa. Raga
berparas rembulan itu
kini
bertutup kain selubung.
Abu
bakar hampir pingsan.
Nafasnya berhenti
berhembus,
tertahan. Sekuat
tenaga, ia
bersimpuh di depan
jasad
wangi al-Musthafa.
Ingin sekali
membuka penutup
wajah yang
disayangi arakan awan,
disanjung hembusan
angin dan
dielu-elukan kerlip
gemintang,
namun tangannya selalu
saja
gemetar. Lama Abu
bakar
termenung di depan
jenazah
pembawa berkah.
Akhirnya,
demi keyakinannya
kepada
Allah, demi matahari
yang
masih akan terbit, demi
mendengar rintihan
pedih
ummat di luar, Abu
bakar
mengais sisa-sisa
keberanian.
Jemarinya perlahan
mendekati
penutup tubuh suci
Rasulullah,
dan dijumpailah, wajah
yang
tak pernah
menjemukan itu.
Abu bakar memesrai
Nabi
dengan mengecup
kening
indahnya. Hampir tak
terdengar ia berucap,
"Demi
ayah dan bunda, indah
nian
hidupmu, dan indah pula
kematianmu. Kekasih,
engkau
memang telah pergi".
Abu
bakar menunduk. Abu
Bakar
mematung. Abu Bakar
berdoa
di depan tubuh nabi
yang telah
sunyi.
-----.....-----.....-----
Dan Bilal bin Rabah, yang
suaranya selalu
memenuhi
udara Madinah dengan
lantunan adzan itu, tak
lagi
mampu berseru di
ketinggian
menara mesjid.
Suaranya
selalu hilang pada saat
akan
menyebut nama
kekasih
‘ Muhammad’. Di dekat
angkasa, seruannya
berubah
pekik tangisan. Tak jauh
dari
langit, suaranya
menjelma isak
pedih yang tak henti.
Setiap
berdiri kukuh untuk
mengumandangkan
adzan,
bayangan Purnama
Madinah
selalu saja jelas
tergambar.
Tiap ingin menyeru
manusia
untuk menjumpai Allah,
lidahnya hanya mampu
berucap lembut, "Aku
mencintaimu duhai
Muhammad, aku
merindukanmu kekasih".
Bilal,
budak hitam yang kerap
di
sanjung Nabi karena
suara
merdunya, kini hanya
mampu
mengenang Sang
kekasih
sambil menatap bola
raksasa
pergi di kaki langit.
-----.....-----.....-----
Dan, terlalu banyak
cinta yang
menderas di setiap
jengkal
lembah madinah. Yang
tak
pernah bisa
diungkapkan.
Semesta menangis.
********
Sahabat, Sang penerang
telah
pergi menemui yang
Maha
Tinggi. Purnama
Madinah telah
kembali, menjumpai
kekasih
yang merindui. Dan
semesta,
kehilangan pelita
terindahnya.
Saya mengenangmu ya
Rasulullah, meski hanya
dengan setitik tinta
pena. Saya
mengingatimu duhai
pembawa
cahaya dunia, meski
hanya
dengan selaksa kata.
Dan saya
meminjam untaian
indah
peredam gemuruh dada,
yang
dilafadzkan Hasan Bin
Tsabit,
salah seorang sahabat
penyair
dari masa mu:
Engkau adalah ke dua
biji mata
ini
Dengan kepergianmu
yang
anggun,
Aku seketika menjelma
menjadi seorang buta
Yang tak perkasa lagi
melihat
cahaya
Siapapun yang ingin
mati
mengikutimu
Biarlah ia pergi menemui
ajalnya,
Dan Aku,
Hanya risau dan haru
dengan
kepergian terindah mu
-----.....-----.....--