Entri Populer

16 November 2011

Obat yang Sedang Jatuh Cinta

Mencintai lawan jenis (wanita) merupakan sebuah kewajaran, sebagaimana Rasulullah juga demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, 

”Kesenanganku dijadikan di dalam shalat. Dan aku dijadikan menyenangi wanita serta wewangian” (HR. Muslim). 

Namun, laki-laki diciptakan dalam keadaan lemah ketika menghadapi fitnah wanita. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, 

”Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. An-Nisaa’ : 28). 

Ats-Tsaury rahimahullah berkata, ”Maksudnya adalah tidak sabar dalam menghadapi wanita” (Roudhotul Muhibbin). 

Allah telah menciptakan obat penawar bagi setiap penyakit dan memudahkan cara untuk mendapatkan obat itu. Barangsiapa yang ingin berobat dengan syari’at Allah, tentu dia akan memperoleh kesembuhan. Sedangkan barangsiapa yang mencari obat dengan sesuatu yang dilarang syari’at, maka dia seperti mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain yang lebih berbahaya. 

Syari’at agama Islam yang mulia ini telah menjadikan pernikahan sebagai obat bagi sepasang insan yang saling mencintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, 

”Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah oleh) orang-orang yang saling mencintai seperti halnya pernikahan” (HR. Ibnu Majah dengan sanad shohih). 
Demikianlah obat penawar bagi fitnah yang tengah melanda di hati sepasang kekasih yang saling mencintai. Allah tidaklah menjadikan pacaran dengan berduaan, peluk-pelukan, cium-ciuman, atau jalan berdua sebagai obat. Bahkan semua ini merupakan sarana menuju zina yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Demikianlah sedikit pembahasan tentang cinta, semoga Allah memberikan taufik kepada kita sehingga kita benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya, dengan demikian Allah pun akan mencintai kita. 

Amiin. 
[Muhammad Saifudin Hakim] 

*** 

MENGENAL CINTA (MAHABBAH) 

Cinta dan keinginan merupakan asal/sebab setiap perbuatan/amal dan gerakan di alam semesta ini, kedua hal itulah yang mengawali segala perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa ketidaksukaan adalah asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan menahan diri dari sesuatu[1]. 

Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta. Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah dengan kecintaan kepada selainNya[2]. Bahkan dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang mengucapkannya kecuali dengan rasa cinta[3]. 

Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada berhala mereka)” (QS. Al Baqoroh [2] : 165). 

Bahkan hakikat peribadatan adalah menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada orang yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi seorang hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya. 

Lihatlah betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mahlukNya yang paling mulia dan paling dicintaiNya yaitu Rosulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam dengan sebutan hamba. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha” (QS. Al Isro’ [17] : 1)[4]. 

5 Cinta yang Harus Dibedakan 

Terdapat 5 macam cinta yang harus dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya. 

1. Mahabbatullah/cinta kepada Allah. Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan mendapatkan pahalaNya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan yahudi juga mencintai Allah[5]. 

2. Mahabbatu maa yuhibbullah/mencintai perkara yang Allah cintai. Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. 

3. Al Hubb lillah wa fillah/mencintai karena Allah dalam keta’atan kepadaNya. Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah cintai. Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali dengan mencintai hal itu karena Allah dan dalam keta’atan kepadaNya. 

4. Al Mahabbatu ma’allah/mencintai selain Allah bersama Allah. Ini adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam keta’atan kepadaNya maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin. 

5. Al Mahabbatu ath Thobi’iyah/cinta yang sejalan dengan tabi’at. Cinta ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabi’atnya seperti seseorang yang haus mencintai air, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan seterusnya. Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah. Semisal seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari sholat jama’ah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun [63] : 9).[6] Jika demikian celaan Allah pada hal-hal yang mubah maka bagaimanakah celaan Allah terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda yang mencintai pacarnya[7] apalagi jika kecintaan ini menghalanginya dari ibadah kepada Allah, semisal melalaikan sholat jama’ah. Maka tentulah celaan Allah untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.