Entri Populer

31 Desember 2011

Hal- Hal yang Membatalkan Iman

JURNAL GHURABBA - Pembatal iman atau "nawaqidhul iman" adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman sesudah iman masuk didalamnya yakni antara lain:
1. Mengingkari rububiyah Allah atau sesuatu dari kekhususan-kekhususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa', dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (Al-Jatsiyah: 24)

2. Sombong serta menolak beribadah kepada Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan me-nambah untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripadaNya." (An-Nisa': 172-173)

3. Menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah'. Katakanlah, 'Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di langit dan tidak (pula) di bumi? Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu)." (Yunus: 18)

"Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do'a yang benar. Dan berhala-berhala yang meraka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do'a (ibadah) orang-orang itu, hanyalah sia-sia belaka." (Ar-Radu: 14)

4. Menolak sesuatu yang ditetapkan Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh RasulNya.
Begitu pula orang yang menyifati seseorang (makhluk) dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah, seperti ilmu Allah. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan Allah dari diriNya atau yang telah dinafikan dariNya oleh RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam.

Allah berfirman kepada Rasulnya: "Katakanlah, Dialah Allah, yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4)

"Hanya milik Allah asma' husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma' husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan." (Al-A’raf: 180)

"Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (Maryam: 65)

5. Mendustakan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang sesuatu yang beliau bawa.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulNya); kepada mereka telah datang rasul-rasulNya dengan mambawa mu'jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaanKu." (Fathir: 25-26)

6. Berkeyakinan bahwa petunjuk Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak sempurna atau menolak suatu hukum syara' yang telah Allah turunkan kepadanya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi hajat manusia, atau meyakini kesamaan hukum Allah dan RasulNya dengan hukum yang selainnya, atau meyakini dibolehkannya berhukum dengan selain hukum Allah.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak ber-hakim kepada thagut itu, padahal mereka telah diperintah meng-ingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisa': 60)

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa': 65)

"Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)

7. Tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu tentang kekafiran mereka, sebab hal itu berarti meragukan apa yang dibawa oleh baginda Rasul Shalallaahu alaihi wasalam.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "…dan mereka berkata, Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya." (Ibrahim: 9)

8. Mengolok-olok atau mengejek-ejek Allah atau Al-Qur'an atau agama Islam atau pahala dan siksa dan yang sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam atau seorang nabi, baik itu gurauan maupun sungguhan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, 'Sesung-guhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman." (At-Taubah: 65-66)

9. Membantu orang musyrik atau menolong mereka untuk memusuhi orang muslim.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi pemimpin yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesung-guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim." (Al-Maidah: 51)

10. Meyakini bahwa orang-orang tertentu boleh keluar dari ajaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau.
Allah berfirman: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu." (Al-Maidah: 3)

11. Berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya serta tidak mau mengamalkannya.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa." (As-Sajdah: 22)

Inilah sebagian pembatal-pembatal iman yang paling nyata. Masih banyak pembatal-pembatal iman yang lain seperti sihir, menolak Al-Qur’an baik sebagian maupun keseluruhannya, atau meragukan ke-mu'jizatannya atau menghina mushaf atau sebagiannya, atau menghalalkan sesuatu yang sudah disepakati keharamannya seperti zina atau khamar, atau menghujat agama serta mencelanya.
Na'udzu billah min dzalik. Wallahu a'lam!

(Disalin dari kitab Tauhid karya  Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan )

oleh (Muhammad Novaldo Kahfi) 

28 Desember 2011

Surat dari Barisan Perlawanan

JURNAL GHURABBA : " ketika kesunyian datang menghapiri kiya , cobaan terus menghujat diri kita .  percayalah sahabat ,  bahwa Allah takkan memberikan cobaan diluar batas kemampuan kita , percayalah bahwa kau tak sendiri sahabat .. walau kita saat ini menjadi ter-asingkan percayalah bahwa disurga kelak kita akan menjadi yang yg ter-agungkan . Bersabarlah .. tetapkanlah .. teguhkanlah ke-Imanan mu ,,!  iringi setiap langkahmu dengan doa .. karena ku ingin kau dan aku tetap bertahan digaris depan sampai akhir hayat dalam garis depan dalam barisan perlawan .keluarkanlah orasi mu keluarkan semangatmu! bangkitkan lah resitandsi mu!  ingatlah akan janji Allah , jika kita menlong agama Allah niscaya kita akan di teguhkan Nya .  Hayya Bil Jihad! Stay fight Ghurabba! Allah beserta kita!! " 


(Penulis: Muhammad Novaldo Kahfi)

27 Desember 2011

Hijrah Kepada Allah dan Rasul-Nya

Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.


Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh
Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)
Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh
Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)
Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.
Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan
Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.
Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).
(Disadur dari majalah As Sunnah edisi 11/VI/1423 H)
***

Artikel www.muslim.or.id

3 Pokok Ajaran Islam

JURNAL GHURABBA
Sejauh Mana Pemahaman Kita?
Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau bahkan lebih) kita menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang sangat menentukan bahagia atau sengsaranya kita di hari akhir nanti.

Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita masuk islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu yang paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling penting yang harus kita renungkan dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita telah memahami dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena jawaban pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas keislaman dan ketakwaan seseorang.
Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)
Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)
Pokok Ajaran Islam
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.
Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh seorang penyair,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka
Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid
Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?
Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)
Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan
Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Alloh. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)
Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya
Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua.
Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.’” (Al-Mumtahanah: 4)
Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam


Artikel : www.muslim.or.id

25 Desember 2011

Sikapi Natal dengan Dakwah & Toleransi, Bukan dengan Faham Pluralisme


Underground Tauhid - Perayaan Natal sungguh wah dan gemerlap, dengan pohon-pohon cemara digantungkan hiasan-hiasan, kerlap-kerlip lampu dan hadiah-hadiah di dalamnya. Malamnya, tepat pukul 24.00 dilakukan misa (kebaktian). Rumah, toko, plasa, gedung, dan kantor penuh dengan hiasan cemara. Acara-acara televisi marak oleh nuansa Natal. Instansi-instansi pun  juga tidak ketinggalan untuk turut merayakannya.
Begitu semaraknya perayaan tersebut seolah membawa kesan: Pertama, perayaan Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember adalah sebuah ritus yang berlandaskan nilai kebenaran.Kedua, seolah-olah mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum Nasrani, padahal secara statistik, jumlah mereka tidak lebih dari 15%. Ketiga, sebagai simbol yang membanggakan bagi orang yang merayakannya atau yang “menyambut” perayaan Natal.
Natal (dari bahasa Portugis yang berarti “kelahiran”) adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun oleh umat Kristiani pada tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember; dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Beberapa gereja Ortodoks merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif. (Wikipedia.com)
Seringkali ritual natal dikaitkan dengan toleransi. Banyak kaum Nasrani mengucapkan selamat Idul Fitri atau Idul Adha pada hari raya kaum muslimin. Mungkin kita sendiri pernah dan seringkali mendapatkan ucapan selamat tersebut dari teman non muslim. Kemudian pada saat perayaan natal, bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin?
Antara Toleransi dan Mendakwahi
Ada dua  pandangan yang sudah diadopsi: Pertama, Sebagian mengatakan bahwa mengucapkan selamat natal sah-sah saja dengan alasan toleransi asalkan tidak membenarkan perbuatan tersebut dalam hati. Kedua, Sebagian mengatakan bahwa mengucapkan selamat natal hukumnya haram karena natal adalah perayaan kelahiran Yesus menjadi Tuhan. Jadi tidak ada toleransi karena masalah akidah.
Berkaitan dengan pendapat pertama yang menyatakan boleh untuk mengucapkan selamat natal. Sekali lagi bahwa di dalam Islam perbuatan harus terikat dengan hukum syara’ (الاصل فى الافعال التقيظ بحكم الشرع) dan tujuan baik tidak menghalalkan segala cara (الغاية لا تبرر الوسييلة) )  meskipun mungkin banyak mengatakan apa susahnya sih hanya mengatakan selamat natal? Kisah Bilal bin Rabah cukup membuat umat Islam kagum dan tidak mudah mengucapkan yang tidak sesuai dengan keyakinannya karena meskipun disiksa tidak mengubah lisannya untuk mengucapkan ahadahad dan ahad. Bila dibandingkan dengan muslim saat ini dengan mudahnya mereka mengatakan selamat natal yang tentunya hal ini bertentangan dengan ahadyang diucapkan oleh sahabat Bilal. Padahal seperti kasus sahabat Bilal dibolehkan di dalam islam untuk berbohong karena sangat pedihnya siksaan. Sedangkan pada saat ini tidak ada siksaan apapun hanya dengan alasan toleransi mereka mengatakan selamat kepada orang kafir.
Natal adalah perayaan orang Nasrani yang mana meyakini Yesus sebagai Tuhannya. Hal ini jelas masalah akidah mereka bukan masalah kemanusiaan. Islam sudah jelas mengatakan  (لكم دينكم ولي دين) bagimu agamamu dan bagiku agamaku. الدين di sini maksudnya akidah (keimanan) dan syariah (hukum islam atau ajaran islam). Jadi toleransi ((التسامح mengakui bahwa ada agama lain selain islam tapi tidak sampai meyakini kebenarannya ataupun mengucapkan selamat.
Islam dan Pluralitas
Islam mengakui pluralitas (keberagaman) tapi tidak dengan pluralisme (menyamakan semua agama) sebagaimana dalam Al-Qur’an Al-Hujurat ayat 13 :
يأيها الناس انا خلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقكم, ان الله عليم خبير.
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Menganggap semua agama sama (karena sama-sama mengajak pada kebaikan), berarti sama saja dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad melakukan hal yang sia-sia di dalam berdakwah karena beliau mengajak orang-orang kafir penyembah berhala, yahudi dan nashrani masuk islam. Padahal nabi bersabda “termasuk sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat”
.(من حسن اسلام المرأ تركه مالايعنيه)Memang dalam masalah akhlak semua agama mengajak kebaikan tapi akhlak islam berbeda dengan orang kafir. Misal, orang berbuat jujur di dalam islam bukan hanya karena melihat jujur perbuatan baik, disenangi banyak orang akan tetapi jujur mereka karena memang Allah memerintahkan bahwa umat Islam wajib jujur. Sikap jujur seperti ini akan abadi karena perintah Allah tetapi kalau jujurnya karena manusia maka bisa saja berubah tidak jujur karena sekarang ada istilah terlalu jujur hancur dan tidak cepat kaya. Jadi, orang yang jujur karena ingin disenangi teman bukanlah akhlak islam dan tidak akan mendapat pahala di sisi Allah.
Jadi Islam mengakui adanya keberagaman warna kulit, kabilah-kabilah, bangsa-bangsa dan suku-suku. Makanya dalam pernikahan masalah kufu’ tidak disyaratkan misalnya harus satu bangsa, warna kulit dan kabilah namun yang disyaratkan adalah kufu’ secara agama
(من ذهب من العلماء إلى أن الكفاءة في النكاح لا تشترط ، ولا يشترط سوى الدين).
Islam tidak perlu belajar lagi masalah pluralitas karena dulu sudah mengayomi perbedaan agama, kabilah, suku dan warna kulit. Terbukti pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz mereka mencapai kemakmuran yang luar biasa sehingga orang-orang Afrika hartanya mencapai nishab semua. Hal tersebut karena pemimpin Islam tidak ada diskriminasi antara orang kafir dan muslim di depan hakim.
Syariat Islam saling terkait antara yang satu dengan yang lain dan tidak bertentangan. Misal syariat menikah yang berkaitan erat dengan masalah nasab dan kewajiban menafkahi. Nasab dan kewajiban menafkahi tersebut tidak akan terlaksana kalau tidak ada pernikahan maka segala hal yang menyebabkan rusaknya nasab dan tidak jelasnya kewajiban menafkahi adalah dilarang. Jadi satu syariat ditinggalkan maka berakibat syariat yang lain tidak bisa atau sulit dilaksanakan. Begitupun juga kaum muslimin diwajibkan untuk berdakwah yakni fardhu kifayah. Bagaimana cara mengajak kaum muslimin terhadap orang kafir sedangkan mereka sudah mengucapkan selamat?
Hadits yang menerangkan tentang nabi menghormati jenazah orang kafir sangat tidak tepat digunakan dalih sebagai toleransi dalam masalah akidah. Hadits tersebut diriwayatkan dari Qais bin Saad RA. dan Sahal bin Hunaif RA.: Dari Ibnu Abu Laila bahwa ketika Qais bin Saad RA. dan Sahal bin Hunaif RA. sedang berada di Qadisiyah, tiba-tiba ada iringan jenazah melewati mereka, maka keduanya berdiri. Lalu dikatakan kepada keduanya: Jenazah itu adalah termasuk penduduk setempat (yakni orang kafir). Mereka berdua berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah dilewati iringan jenazah, lalu beliau berdiri. Ketika dikatakan: Jenazah itu Yahudi, Rasulullah saw. bersabda: Bukankah ia juga manusia?. (Shahih Muslim No.1596)
Dari hadits ini jelas bahwa Nabi Muhammad Saw menghormati orang tersebut sebagai manusia bukan membenarkan terhadap ritual keyakinannya. Jadi, baik jenazah tersebut orang kafir ataupun orang Islam diwajibkan umat Islam untuk menghormati. Hal ini sangat berbeda faktanya dengan natal yang merayakan kelahiran Yesus sebagai Tuhan.
Khatimah
Cukuplah Nabi Muhammad sebagai contoh untuk kita, meskipun diiming-iming kaum kuffardengan tawaran harta, takhta dan wanita supaya berhenti mendakwahi mereka tapi nabi tidak berkenan karena semua agama tidak sama (Tidak Ada Pluralisme). Toleransi sudah di contohkan dengan dilarangnya menghancurkannya tempat ibadah-ibadah mereka ketika perang, dimenangkannya orang Yahudi saat berperkara dengan khalifah Ali bin Abi Thalib masalah baju perang. Padahal baju tersebut benar-benar milik khalifah tapi karena tidak bisa mendatangkan saksi, meskipun seorang khalifah tetap kalah sama orang Yahudi (Islam Mengakui Pluralitas)Wallahu A’lam Bisshowab
Oleh: Herman anas
Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah guluk-guluk Sumenep

24 Desember 2011

10 Kerusakan Dalam Perayaan Tahun Baru

JURNAL GHURABBA-Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (‘ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”[2]
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (‘ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal:
  1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
  2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
  3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
  1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
  2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
    مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”[3] -Demikian penjelasan Lajnah-
Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ.
Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs. Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H


[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if  Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.
 
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Haram Umat Islam Mengucapkan Selamat Natal


JURNAL GHURABBA - Saat ini ada beda pendapat di sebagian ummat Islam tentang hukum mengucapkan Selamat Natal pada Ummat Kristen yang merayakan hari raya Natal. Ada yang tegas menyatakan haram. Ada pula yang membolehkannya.
Terhadap hal itu, hendaknya kita mengkaji Al Qur’an dan Hadits yang Sahih agar tahu mana pendapat yang benar, dan mana yang salah.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [Al Maa-idah 2]
http://media-islam.or.id/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif“Rasulullah s.a.w. melaknat tentang arak, sepuluh golongan: (1) yang memerasnya, (2) yang minta diperaskannya, (3) yang meminumnya, (4) yang membawanya, (5) yang minta dihantarinya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan harganya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya.” (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)
Dari Jabir ra bahwasanya Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang meberikannya, para pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau bersabda, “Mereka semua adalah sama”. (HR. Muslim).
Allah memerintahkan kita untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan. Sebaliknya Allah melarang keras tolong-menolong dalam hal kejahatan. Dari hadits tentang riba dan arak kita tahu dosanya mengenai bukan cuma pelaku riba atau peminum arak. Tapi siapa pun yang terlibat termasuk saksi atau pun yang cuma mengantarkan minuman. Demikian pula untuk dosa lain seperti Syirik.
Nah kita tahu bahwa pada hari Natal, ummat Kristen merayakan hari lahir Yesus yang mereka anggap Tuhan mereka. Tuhan Anak! Itu adalah dosa Syirik. Dan Syirik itu adalah dosa terbesar yang tidak terampuni. Nah jika terhadap dosa yang lebih kecil seperti Riba dan Minum Arak saja kita dilarang turut membantu, bagaimana dengan mengucapkan “Selamat Natal” yang merupakan satu doa kepada orang yang tengah merayakan kemusyrikan?
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” [An Nisaa’ 171]
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [Al Maa-idah 73]
Dalam surat Al Ikhlas ditegaskan:
“Katakanlah: Allah itu Satu
Allah tempat meminta
Dia tidak beranak dan tidak diperanakan
Dan tak ada satu pun yang setara dengannya” [Al Ikhlas 1-4]
Seharusnya kita memberitahu mereka bahwa syirik itu dosa. Bukan justru memberi selamat! Jika kita beri ucapan selamat, mereka tidak akan sadar dan terus terjebak dalam kemusyrikan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An Nisaa’:48]
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An Nisaa’:116]
Perhatikan ayat-ayat di atas. Allah menyatakan bahwa kafirlah Ahli Kitab yang menganggap Allah hanyalah 1 dari 3 Tuhan dan Allah menjanjikan siksaan yang pedih pada orang-orang yang musyrik. Adakah kita ingin turut mendapat siksa dengan memberikan ucapan selamat kepada orang yang tengah merayakan hari kelahiran Yesus sebagai Tuhan Anak? Sebagai sekutu dari Allah?
Oleh karena itu keliru jika ada yang mengharamkan orang menghadiri acara Natal, tapi justru menghalalkan menucapkan Selamat Natal. Sesuatu yang haram itu dosa. Mengucapkan selamat kepada orang yang berbuat haram juga dosa. Misalnya orang mencuri (mencuri lebih ringan dosanya daripada sirik). Jika kita mengucapkan Selamat Mencuri, itu juga dosa. Begitu pula mengucapkan selamat kepada orang yang tengah berbuat dosa syirik.
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Qs. Az Zumar [39]: 7)
Sebagaimana Allah tidak meridhoi/menyukai kekafiran, hendaknya kita begitu. Bukan justru memberi ucapan selamat kepada orang yang merayakan kekafirannya dengan merayakan kelahiran Tuhan dan Juru Selamat mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah memberitahukan, tidak didapatkan orang beriman mencintai orang kafir. Siapa yang mencintai orang kafir maka dia bukan seorang mukmin. Menyerupai secara dzahir bisa menimbulkan kecintaan maka diharamkan.”
….Allah memberitahukan, tidak didapatkan orang beriman mencintai orang kafir. Siapa yang mencintai orang kafir maka dia bukan seorang mukmin. Menyerupai secara dzahir bisa menimbulkan kecintaan maka diharamkan….
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Oleh karena itu kasihan sekali jika ada presenter Muslim di TV atau pramuniaga Muslim di Mal-mal yang mengenakan topi merah Sinterklas saat Natal. Karena itu berarti mereka termasuk bagian dari orang-orang Kristen. Ketahuilah bahwa akhirat/surga itu lebih baik dan lebih kekal daripada dunia yang fana ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” [Al Fath 29]
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al Maa-idah 54]
Larangan menghadiri perayaan hari raya orang kafir
Para ulama bersepakat, haram menghadiri perayaan hari raya orang kafir dan bertasyabuh (menyerupai) acara mereka. Ini adalah pendapat madzab Hanafi, Maliki, syafi’i, dan Hambali. (Lihat Iqtidla’ ash-Shirat al-Mustaqim, karya Ibnu Taimiyah : 2/425 dan Ahkam Ahlidz Dzimmah, karya Ibnul Qayyim 2/227).
Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah:
”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” [Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.]
Dalam Al-Fiqh Al-Islami, Tasyabuh dilarang berdasarkan alasan yang cukup banyak:
1.  Tidak menumpang pada kapal yang digunakan orang kafir untuk menghadiri perayaan hari raya mereka.
Imam Malik rahimahullah berkata; “dimakruhkan menumpang kapal orang kafir yang dijalankan sebagai alat transportasi untuk menghadiri perayaan hari raya mereka, karena laknat dan kemurkaan Allah turun kepada mereka.” (dalam Al-Luma’ Fi al-Hawadits wa al-Bida’1/392).
Ibnul Qasim pernah ditanya tentang menumpang kapal yang dijalankan orang Nashrani untuk menghadiri perayaan hari raya mereka, maka beliau membenci hal itu karena khawatir akan turun murka kepada mereka disebabkan kesyirikan yang mereka lakukan. (lihat Al-Iqtidla: 2/625).
Ibn al-Qayyim pernah menyampaikan bila pemberian ucapan “Selamat Natal” atau mengucapkan “Happy Christmas” kepada orang-orang Kafir hukumnya haram.
Sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata, “Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama.
Alasan Ibu al-Qayyim, menyatakan haram ucapan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan.
Sikap ini juga sama pernah disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin sebagaimana dikutip dalam Majmû’ Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, ( Jilid.III, h.44-46, No.403).
Mungkin ada yang berkata, “Masak mengucapkan Selamat Natal saja haram?” Menurut kita mungkin kecil. Tapi di sisi Allah ucapan yang sesat itu besar dosanya. Coba lihat:
“Mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.”
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar,
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh” [Maryam 88-90]
Jangankan mengucapkan Selamat Natal, mengucapkan salam biasa saja kepada Non Muslim kita dilarang:
Rasulullah SAW bersabda:”Jangan kalian mendahului mengucapkan salam kepada orang Yahudi atau Nashrani” (HR. Muslim).
Apabila orang Non Muslim memulai mengucapkan salam, maka jawaban yang diperkenankan oleh syari’at adalah:”Wa ‘alaikum!” (Semoga anda juga). Itu saja, tidak usah diperpanjang lagi. Rasulullah SAW menasihatkan:”Jika orang-orang Ahli Kitab (Non Muslim) memberi salam kepada kamu, maka jawablah:”Wa ‘alaikum” (HR. Bukhary dan Muslim).
Salam adalah do’a seorang Muslim kepada saudaranya seiman. Kita tidak bisa mengucapkan doa Selamat kepada orang yang kafir/musyrik karena jika mereka tak tobat, siksa Allah sudah jelas menunggu mereka.
”Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (Al Qashash [28]: 56).
Satu-satunya doa yang diperbolehkan untuk orang kafir yang masih hidup adalah doa agar mereka dapat petunjuk untuk masuk Islam:
Do’a Rasulullah SAW kepada orang Non Muslim:”Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka orang yang tidak mengerti” (Sirah Nabawiyah, Abul Hasan ali An Nadwi). Atau do’a Rasululah SAW kepada Umar Bin Khaththab ketika masih kafir:”Ya Allah, berilah kemuliaan kepada Islam dengan masuk Islamnya salah satu orang terkasih kepada-Mu, yakni Abu Jahal atau Umar Bin Khaththab”.
Ada ulama yang membolehkan mengucapkan salam dengan dalil di bawah:
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” [Maryam 33]
Namun kita harus paham bahwa itu adalah ucapan Nabi Isa yang berdoa semoga keselamatan dilimpahkan padanya pada hari beliau dilahirkan, meninggal, dan saat dibangkitkan kembali.  Bukan setiap tanggal 25 Desember yang memakai tahun Masehi karena ummat Islam memakai kalendar Hijriyah. Dan Nabi serta para sahabat tak pernah mengucapkan Selamat Natal.
Selain itu, harusnya cukup berdoa kepada Allah agar melimpahkan keselamatan kepada Nabi  Isa. Bukan memberi ucapan Selamat Natal kepada kaum Nasrani yang kita tahu merayakan kelahiran Tuhan mereka.
Selain itu, mengucapkan Selamat Natal atas kelahiran Nabi Isa pada tanggal 25 Desember juga salah waktu. Sebab Nabi Isa AS tidak lahir pada tanggal 25 Desember, beliau lahir di musim panas saat kurma berbuah, sebagaimana isyarat di dalam ayat Al-Quran saat Ibunda Maryam melahirkannya di bawah pohon kurma. Saat itu Allah SWT berfirma kepadanya:
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam: 25)
Bahkan sebagian orang Kristen sendiri menyatakan bahwa tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus. Tapi itu adalah hari perayaan kaum Romawi, Solstice Day, yang merayakan hari kelahiran Dewa Matahari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Natal
Jadi keliru sekali jika ada ummat Islam yang mengucapkan Selamat Natal pada tanggal 25 Desember.
Ada ulama yang menghalalkan mengucapkan selamat natal dengan dalil “Berbuat Baik”:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”  (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr ra, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya.[Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy]. Jadi bukan untuk mengucapkan Selamat Natal.
Padahal berbuat baik di atas adalah berbuat baik selama kita tidak bermaksiat kepada Allah. Jangankan terhadap orang biasa, terhadap orang tua saja meski kita harus berbuat baik, tapi jika durhaka kepada perintah Allah haram bagi kita untuk mematuhi mereka.
Berbuat baik itu bukan berarti kita ikut ridho dan mengucapkan selamat atas kekafiran mereka. Islam memang menghargai kebebasan beragama. Laa ikraha fid diin. Tak ada paksaan dalam beragama. Tapi dalam hal aqidah, tidak bisa dicampur aduk. Sebagai contoh Nabi pernah ditawari kekayaan, wanita, dan juga jabatan sebagai pemimpin Mekkah agar tidak menjelek-jelekkan Tuhan (Berhala) kaum kafir Quraisy dan bergantian menyembah Tuhan. Nabi menyembah Tuhan Quraisy setahun, dan kaum kafir Quraisy menyembah Allah selama setahun. Jika mengikuti ajakan kaum kafir tersebut, memang kita berbuat baik kepada mereka. Tapi kafir kepada Allah. Akhirnya Allah menurunkan surat Al Kaafiruun yang menegaskan tidak ada toleransi dalam hal Aqidah:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi saw. dengan menawarkan kekayaan agar beliau menjadi seorang yang paling kaya di kota Makkah, dan akan dikawinkan dengan yang beliau kehendaki. Usaha ini disampaikan dengan berkata: “Inilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat agar engkau jangan memaki-maki tuhan kami dan menjelekkannya, atau sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun.” Nabi saw menjawab: “Aku akan menunggu wahyu dari Tuhanku.” Ayat ini (S.109:1-6) turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir. Dan turun pula Surat Az Zumar ayat 64 sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala.
(Diriwayatkan oleh at-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-’Ashi bin Wa-il, al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata: “Hai Muhammad! Mari kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini (S.109:1-6)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Mina.)
Inilah surat Al Kaafiruun ayat 1-6:
Katakanlah:“Haiorang-orangkafir,
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Tegas bukan? Tidak pernah Nabi mengucapkan: “Selamat Menyembah Berhala”
Dan jika ada yang membolehkan mengucapkan selamat Natal bagi Muslim yang tinggal di daerah yang mayoritas Kristen, itu tak sesuai sunnah Nabi. Meski Nabi saat itu di Mekkah merupakan minoritas, tapi oleh Allah tetap bersikap tegas.
Berbuat baik itu adalah dengan mengatakan yang benar itu benar, dan salah itu salah. Orang yang salah, kita beritahu yang benar. Jadi mereka bisa jadi benar. Bukan justru didukung untuk terus tetap berbuat salah.
Dalil lainnya lagi adalah jika diberi penghormatan atau salam, hendaklah memberi penghormatan yang lebih baik lagi:

وإذا حييتم بتحية فحيوا بأحسن منها أو ردوها
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 86)
Padahal ayat di atas berkenaan dengan ucapan “Assalamu’alaikum” yang diucapkan oleh sesama Muslim yang wajib dibalas dan bahkan lebih baik lagi dengan ucapan “Wa’alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuhu”. Bukan ucapan “Selamat Natal” oleh orang musyrik kemudian kita balas lagi. Ayat selanjutnya membantah hal itu:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 87)
Bagaimana mungkin kita mengucapkan Selamat kepada orang yang tengah mengingkari ayat di atas dengan menyembah Tuhan selain Allah?
Jadi sekali lagi, Hari Natal adalah satu Syiar Agama Kristen di mana mereka saat itu merayakan hari lahirnya Tuhan mereka: Yesus. Syirik itu adalah dosa terbesar yang tidak diampuni oleh Allah SWT. Tak pernah ada sunnah Nabi dan para sahabat mengucapkan Selamat Natal kepada ummat Kristen saat itu. Sebaliknya dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Nabi mengajak utusan Nasrani Najran untuk bermubahalah ketika kaum Nasrani ngotot bahwa Isa itu adalah Tuhan. Kutukan Allah akan menimpa kaum Nasrani jika mereka berdusta. Dan kaum Nasrani tak berani menerima tantangan itu:
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesunguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” [Ali 'Imran 59-64]
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At Taubah 31]
[639]. Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Sesatnya kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka mengikuti ulama mereka membabi-buta. Kita jangan taqlid pada ulama seperti mereka. Pegang teguh Al Qur’an dan Hadits. Ikutilah ulama yang lurus yang berpedoman pada Al Qur’an dan hadits. Bukan yang menyimpang dan sesat.
Dari berbagai ayat Al Qur’an mau pun hadits di atas, jelaslah bahwa argumentasi orang-orang yang menghalalkan ucapan Selamat Natal itu tak memiliki dalil Al Qur’an dan Hadits yang kuat. Karena berdasarkan dalil yang mereka pakai, tak pernah Nabi, para sahabat, tabi’in, serta Imam Madzhab mengucapkan Selamat Natal. Bahkan Nabi justru mengajak mereka bermubahalah:
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la’nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” [At Taubah 61]
Nabi tidak mengucapkan Selamat Natal. Justru mengajak mereka kembali ke jalan yang lurus!
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [Al Israa' 31]
Yang aku takuti terhadap umatku ialah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan. (HR. Abu Dawud)
Celaka atas umatku dari ulama yang buruk. (HR. Al Hakim)
Seorang ulama yang tanpa amalan seperti lampu membakar dirinya sendiri (Berarti amal perbuatan harus sesuai dengan ajaran-ajarannya). (HR. Ad-Dailami)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. ” [Al Baqarah 120]
Kaum Nasrani memang tidak akan senang dengan ummat Islam hingga kita mengikuti mereka. Tapi hendaknya kita tetap lurus. Jika ada hal yang syubhat/samar di mana ada yang bilang haram dan yang lain bilang halal, hendaklah kita tinggalkan yang syubhat. Insya Allah akan selamat. Selain itu karena Nabi dan Sahabat tak pernah mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani meski dulu kaum Nasrani sudah ada, maka mengucapkannya adalah Bid’ah. Dan Bid’ah itu adalah sesat (HR Muslim).
Jadi marilah kita tetap lurus di jalan yang lurus dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

Sumber : 
: http://syiarislam.wordpress.com/2010/12/15/hukum-mengucapkan-selamat-natal/