Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah
generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik
atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok
musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta
tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka
cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian
yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan
saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek
kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan
atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak
dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem
kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat
bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthbmengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm,
hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar
terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak
dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan
seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan
jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu
di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah
sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah
sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah
solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat
rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme
yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan
kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak
berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak
demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat
kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan
bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau
lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas
hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan,
norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya
menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi
juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan
bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan
tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan,
berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau
melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena
bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan
meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk
memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang
dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat
ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni
lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).
Adapun seni musik (instrumental art)
adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang
keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain
cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi
bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri
sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga
disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah
dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media
alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan
cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan
instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat
musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan
alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan
sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3. Tinjauan Fiqih Islam
Dalam
pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan
hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam
aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika
hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan
hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua
aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum
fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di
samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa
kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik
dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada
baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan
hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk
dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 41-42; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96; Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 21-25; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam,
hal. 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini
akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya.
Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan
pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at-taghanni).
Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan.
Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil
masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik.http://www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunyaSeni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki dalamAl-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101):
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
“Dan
di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an-Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang
yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara
nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus
syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar
wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku
berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar
suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus
berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi
Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan
seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan
kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati
syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalamFâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari
Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia
sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak
setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh)
satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat
kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk
menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam asy-Syafi’i mengatakan
bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling
bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang
lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa
hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’)
di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang
nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang
memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan
tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya.
Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih:
Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hal. 390).
Prinsip
yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah
untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 1, hal. 239).
Atas
dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami
sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum
nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau
perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat,
kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada
hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan
menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang
menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan.Nyanyian haram didasarkan
pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang
disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur
baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’,
misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan
sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan
pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya
adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian
yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani
Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan
keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).
3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan
manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan
tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan:
Al-ashlu fi al-af’âl al-jibiliyah al-ibahah “Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 96).
Maka dari itu, melihat —sebagai perbuatan jibiliyyah— hukum asalnya adalah boleh (ibahah).
Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon,
batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan
dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah
boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan
melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu
melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan
mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah
boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara
halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya
nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang
terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya
mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!”
Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang
tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban
melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian.
Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian
itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya
mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran,
kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi
munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan
fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika
tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu
adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa
interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian
sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika
seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta
kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian
tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (Qs. al-An’âm [6]: 68).
3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah
hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan
sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis
alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits,
yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal,
maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang
menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits
yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan
sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang
memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalamMuqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam an-Nawawi dalam Al-Irsyad, Imam Ibnu Katsirdalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Imam Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, as-Sakhawydalam Fathul Mugits, ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Dha’if al-Adab al-Mufrad setuju dengan pendapatIbnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalahMunqathi’ (Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika
belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu
yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan
memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau
boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya.
Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu
suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada
dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal)
secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR,
lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian
secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur
kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadiikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74).
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) danSyaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan
semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung
sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’)
—dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah
syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Al-ashlu fi al-asy-yâ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76).
Namun
demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram,
bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau
mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).
4. Pedoman Umum Nyanyian Dan Musik Islami
Setelah
menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman
umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih
rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa
nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan
atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat)
komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah
nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami):
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya:
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf)
dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya,
mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau
menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang
kezaliman penguasa sekuler.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru
orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas
kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya,
mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan
sejenisnya.
c) Tidak menyalahi ketentuan syara’,
seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan
transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki
memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita
memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan
memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat,
maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah:
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam
hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi:
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar(menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi:
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dan sebagainya) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b) Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu Dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah
kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan
bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana
jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif
sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah.
Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan
status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis
hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi —walau
pun cuma secuil— dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler
yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan
masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam
di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Amin. [M. Shiddiq al-Jawi] (www.faridm.com)
Wallahu a’lam bi ash-showab.
Daftar Bacaan
* Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
* Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
*
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam
bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi.
Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
* Al-Jaziri, Abdurrahman.
1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism
Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
* Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
*
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III
(Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
* ———-. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
* ———-. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
* ———-.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
* Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
* Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. http://www.alsofwah.or.id/
* Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? http://www.sidogiri.com/
* Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. http://www.syariahonline.com/
* Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. http://www.pesantrenvirtual.com/
* “Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik.http://www.ashifnet.tripod.com/
* Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
* Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
*
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil
Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih
Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).