“Four of the largest five entertainment giants
are now run or owned by Jews. Murdoch’s News Corp (at number four) is
the only gentile holdout — however Rupert is as pro-Israel as any Jew,
probably more so.”
– Los Angeles Jewish Times, ‘Yes, Virginia, Jews Do Control the Media,’ Oct. 29-Nov. 11, 1999, p. 14.
“Time-Warner, Disney, Viacom-CBS, News Corporation and
Universal rule the entertainment world in a way that the old Hollywood
studio chiefs only dreamed of. And, after all the deals and buyouts,
four of the five are run by Jews. We’re back to where we started, bigger
than ever.”
– Jewish Week, 9-17-1999, 12.
UNDERGROUND TAUHID–Meski tragedi 11 September 2001 sudah 7 tahun yang
lalu, hingga kini perdebatan mengenai tragedi tersebut terus berlanjut.
Pemerintah Amerika Serikat segera setelah tabrakan tiga pesawat dengan
menara kembar WTC New York dan Pentagon di Washington, mengumumkan,
bahwa pelaku aksi teror tersebut adalah anggota gerakan teroris
Al-Qaeda. Pada masa pemerintahan rezim Taliban di Afghanistan, negara
ini merupakan markas utama kelompok Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama
bin Laden dan mendapat dukungan Taliban. Karena itu, pasca tragedi 11
September, Amerika Serikat menuding Al-Qaeda sebagai pelaku dan
melancarkan serangan ke Afghanistan. Padahal ada banyak pengamat politik
yang meragukan kebenaran dari klaim Washington tersebut. Mereka bahkan
mengajukan sejumlah bukti dan data yang menunjukkan adanya keterlibatan
sejumlah agen mata-mata Amerika Serikat sendiri dalam tragedi 11
September itu, atau setidaknya mereka telah mengetahui rencana aksi
teror tersebut sebelumnya.
Terlepas dari adanya keraguan atas klaim pemerintah Amerika Serikat soal
pelaku aksi teror 11 September 2001 itu, yang jelas pemerintah Amerika
Serikat di bawah pimpinan presiden Bush saat itu telah mengeksploitasi
dan memanfaatkan peristiwa ini secara berlebihan melalui media massa
untuk kepentingan politik mereka.
Seluruh media massa skala international yang dikuasai oleh Barat
dijadikan alat untuk menghegemoni dunia untuk mendukung
kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang notabene disisi lain memberikan
citra buruk terhadap agama Islam. Aksi terorisme yang diklaim merupakan
perbuatan kelompok Al-Qaeda, telah digembar-gemborkan seolah agama
Islam-lah yang memicu perbuatan terorisme itu. Sehingga muncul opini
bahwa Islam adalah agama teroris, dan istilah Jihad menjadi kambing
hitam dan direduksi ke level yang paling rendah sebagai tindakan
‘terorisme’.
Di Indonesia sendiri, di era pemerintahan Megawati telah memilih
untuk bergandengan tangan dengan Amerika Serikat untuk memberantas
“terorisme” versi Bush itu. Sehingga berbagai aksi dilakukan oleh
pemerintah Indonesia untuk mulai memberangus tokoh-tokoh Islam yang
dianggap ekstrim. Ingat saja kasus Ust. Abu Bakar Ba’asyir yang
ditangkap secara tidak terhormat, dituduh teroris, dipenjara
berbulan-bulan, diperlakukan tidak manusiawi di penjara tanpa bukti
apa-apa.
Agenda-agenda media massa nasional pun ikut menjadikan wacana
terorisme –yang sengaja disandingkan dengan wacana-wacana Jihad –
sebagai isu utama. Lengkaplah sudah upaya untuk membentuk penyimpangan
opini di masyarakat untuk mendefinisikan makna Jihad. Bukan lagi makna
sebenarnya, namun makna versi Barat.
Bush pernah berpidato di Kongres AS pada 20 September 2001 di Islamic
Center di Washington DC dengan maksud menggalang solidaritas umat
Kristen dan Yahudi,”The terrorists directive commands them to kill
Christians dan Jews.” Padahal dari penyataan Osama bin Laden sendiri
tidak pernah ia mengatakan seperti itu. Ucapan Bush itu adalah fitnah
yang menyulut kebencian terhadap umat Islam
[1].
Monster di Balik Monster
Dibalik negara adi daya yang sombong bernama Amerika Serikat ini,
ternyata ada campur tangan pihak-pihak lain dibelakang layar yang
bersekongkol melawan Islam. Umat Yahudi di Amerika telah telah
mendarah-daging tersebar menjadi penguasa-penguasa modal berwajah
perusahaan-perusahaan multinasional. Tak heran jika ada berderet-deret
nama perusahaan media massa terkenal di Amerika dan berskala
internasional ternyata semuanya dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang
Yahudi.
Kekejaman Yahudi Israel yang tak pernah sekalipun diliput media Barat
Dalam sebuah situs yang membongkar strategi busuk Yahudi, terdapat
kutipan semboyan yang selalu mereka pegang untuk menguasai Amerika
Serikat; “Kita tidak sekedar memberikan pengaruh yang menentukan dalam
sistem politik yang kita kehendaki serta kontrol terhadap pemerintah;
kita juga melakukan kontrol terhadap pikiran dan jiwa anak-anak mereka”.
(Sumber: www.soulpower.web.id)
The Hidden Mission
Berikut ini adalah kutipan misi bangsa Yahudi di seluruh dunia dalam
upayanya menguasai dunia. Dalam Protokol Zionisme Internasional yang
ke-12 disebutkan:
“Kita akan menangani Pers dengan cara sebagai berikut:
1. Kita harus menungganginya dan mengendalikannya dengan ketat. Kita
juga harus melakukan hal yang sama dengan barang cetakan, karena kita
perlu melepaskan diri kita dari serangan-serangan Pers, kalau kita tetap
terbuka terhadap kecaman melalui pamflet dan buku-buku.
2. Tak boleh satupun pernyataan sampai ke masyarakat diluar pengawasan
kita. Kita telah mencapai hal itu pada saat ini sampai pada suatu
tingkat dimana semua berita disalurkan melalui kantor-kantor berita yang
kita kendalikan dari seluruh bagian dunia.
3. Literatur dan jurnalisme merupakan dua kekuatan pendidikan yang
sangat penting, dan karena itu pemerintah kita akan menjadi pemilik
sebagian besar dari jurnal-jurnal yang ada. Kalau ada sepuluh jurnal
swasta, maka kita harus memiliki tiga-puluh jurnal milik kita sendiri,
dan seterusnya. Hal ini tidak boleh sampai menimbulkan kecurigaan di
masyarakat, karena alasannya semua jurnal yang kita terbitkan akan
diluar kecenderungan dan pendapat yang paling kontroversial, jadi kita
membangun kepercayaan pada masyarakat dan menarik perhatian lawan-lawan
kita yang tidak mencurigai kita, dan akan masuk perangkap kita dan
membuat mereka tidak berbahaya.”
(isi ’Protokol Ke-12’)
Yahudi Suka ‘Main’ Monopoli
a. Monopoli Yahudi Atas Media Cetak
The New York Times, The Wall Street Journal dan The Washington Post,
tiga surat-kabar kelas dunia ini adalah penentu arah pemberitaan serta
pengambilan keputusan oleh tokoh-tokoh di seluruh ibukota negara di
dunia. Mereka menentukan apa yang patut menjadi berita dan apa yang
bukan, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Mereka mampu
menciptakan suatu berita disaat koran lain sekedar hanya menyalin dan
meneruskannya ke seluruh penjuru dunia. Ketiga harian ini milik pemodal
Yahudi, seperti juga koran-koran lain kini di Amerika Serikat dan di
sebagian besar dunia. Keluarga Suzberger, seorang pemodal Yahudi yang
menguasai The New York Times Company menguasai 36 buah perusahaan
surat-kabar lainnya, dan duabelas majalah, termasuk McCall’s dan Family
Circle. Pemilikan media cetak ini tidak berhenti hanya sampai koran yang
memiliki pengaruh, tetapi bahkan sampai koran-koran kuning di New York,
seperti the Daily News, dan the New York Post, yang dimiliki seorang
milyarder Yahudi yang juga pengembang real-estate, Peter Kalikow. Koran
‘The Village Voice’ juga milik pribadi seorang pemodal Yahudi bernama
Leonard Stern.
Ted Turner, Pemilik CNN
Hanya ada tiga majalah yang pantas dicatat di Amerika Serikat, Time,
Newsweek, dan US News and World Report. Pimpinan eksekutif Time Worner
Corporation adalah Steven Ross, dan orang ini pun seorang Yahudi. Ada
tiga penerbit buku ukuran raksasa, Random House, Simon & Schuster,
dan Time Inc. Book Co. Kesemuanya dimiliki oleh pemodal Yahudi. Pimpinan
eksekutif Simon & Schuster ialah Richard Snyder, dan ketuanya
Jeremy Kaplan, kedua-duanya orang Yahudi. Western Publishing ada pada
peringkat paling atas, yang menerbitkan buku-buku untuk kanak-kanak,
dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50 % dari pangsa pasar buku untuk
kanak-kanak yang ada di dunia. Ketua dan pimpinan eksekutifnya sekaligus
ialah Richard Bernstein, seorang Yahudi. Jurubicara kaum Yahudi
biasanya selalu menggunakan taktik menghindar. Mereka selalu mengatakan
bahwa Ted Turner bukan orang Yahudi.
b. Monopoli Yahudi Terhadap Media Elektronik.
Kecenderungan deregulasi oleh pemerintah di seluruh dunia di bidang
industri telekomunikasi menghasilkan bukannya persaingan yang kian
meningkat, tetapi justeru gelombang pasang-naik merger perusahaan,
disertai pengambil-alihan usaha pers yang menghasilkan multi-miliar
dolar konglomerasi media. Dunia layar kaca, apakah dari suatu stasiun
nasional atau melalui piringan satelit, atau saluran kabel, apakah film
di gedung bioskop atau dalam bentuk VCD (video-cassette disc) di rumah;
mendengarkan musik dari radio swasta niaga setempat, membaca koran,
majalah, atau buku – sangat besar kemungkinannya informasi atau hiburan
yang diterima tadi adalah produk atau didistribusikan oleh salah satu
dari mega-usaha Yahudi di bawah ini:
Michael Eisner
Konglomerat media terbesar saat ini adalah Walt Disney Company, dimana
pimpinan eksekutifnya, Michael Eisner seorang Yahudi. Kerajaan Disney
dikepalai oleh seseorang yang oleh salah satu analis media disebutkan
sebagai “tukang kontrol”, termasuk beberapa perusahaan produksi teve
(Walt Disney Television, Touchstone Television, Buena Vista Television),
jaringan teve kabelnya, termasuk di Indonesia, meliputi 14 juta
pelanggan, dan dua perusahaan yang memproduksi video.
Dalam hal produksi film, the Walt Disney Pictures Group yang
dikepalai oleh Joe Roth (juga seorang Yahudi), meliputi Touchstone
Pictures, Hollywood Pictures, dan Caravan Pictures. Disney juga
menguasai Miramax Films yang dipimpin oleh Weinstein bersaudara, orang
Yahudi. Ketika Disney Company masih dipimpin oleh orang-orang non-Yahudi
sebelum diambill alih oleh Eisner pada tahun 1948, film-filmnya lebih
mengedepankan hiburan keluarga yang sehat. Meskipun masih memegang
hak-cipta atas film-film semacam Snow White, tetapi di bawah Eisner
film-film Disney memperluas produksinya pada film-film kekerasan dan sex
secara mentah. Sebagai tambahan terhadap teve dan film, perusahaan itu
menguasai juga Disneyland, Disney World, Epcot Center, Tokyo Disneyland,
dan Euro Disney.
Disney setiap tahun menjual produk bernilai milyaran dolar dalam
bentuk: buku, mainan anak-anak, dan pakaian. Pada bulan Agustus 1995,
Eisner mengambil-alih jaringan Capital Cities/ABC, Inc., menciptakan
sebuah kerajaan media dengan penjualan tahunan kira-kira $ 16,5 milyar.
Capital Cities/ABC memiliki jaringan ABC Television Networks, yang
selanjutnya menguasai sepuluh stasiun teve di New York, Chicago,
Philadelphia, Los Angeles dan Houston. Anak perusahaan ABC Television di
bidang teve kabel, ESPN, dikepalai oleh Steven Bernstein, yang juga
seorang Yahudi. Perusahaan ini menguasai saham pemilikan Lifetime
Television dan Arts & Entertainment Network Cable dengan jaringan
tidak kurang dari 3.400 stasiun di seluruh dunia. Warner Music adalah
perusahaan rekaman terbesar di dunia dengan menggunakan 50 buah merk
dagang. Presiden komisaris dan direktur utamanya adalah Danny Goldberg.
Stuart Hersh adalah ketua Warnervision, keduanya orang Yahudi. Dan
jangan lupa CNN, siaran teve paling berpengaruh dengan jaringannya yang
meliputi nyaris ke seluruh jagad, dikuasai oleh Ted Turner, yang juga
orang Yahudi.
Harvey Weinstein, pemilik Miramax Films
Karenanya jangan heran bila siaran CNN mengenai negara-negara yang tidak
sehaluan dengan Israel – terutama negara-negara Islam atau komunitas
muslim – akan selalu diplintir. Orang-orang dengan wajah dan latar
belakang Timur Tengah atau muslim senantiasa digambarkan sebagai
“bandit”, bengis, culas, tidak dapat dipercaya dan berkubang dalam
kegiatan terorisme. Demikian pula dengan jaringan media cetak, radio,
teve milik Rupert Murdoch, yang juga seorang Yahudi. Murdoch
mengkhususkan diri pada pers ‘kuning” dengan berita-berita yang
‘jalang’. Sasarannya ini tidak terlalu mengejutkan bila dikaitkan dengan
missi dari Illuminati yang bertujuan untuk mengacaukan moral di
kalangan masyarakat ‘goyyim’.
Dua perusahaan produksi film terbesar di dunia, MCA dan Universal
Pictures, keduanya dimiliki oleh satu perusahaan, Seagram Co. Ltd.
Pemilik Seagram adalahjuga raksasa produsen minuman keras, Edgar
Bronman, yang menduduki jabatan sebagai ketua ‘World Jewish Congress’
(’Konggres Yahudi Sedunia’). Perusahaan yang pernah merajai dunia
perfilman seperti Melvyn, Goodwyn, Meyer (MGM), yang diambil dari nama
tiga-serangkai Yahudi. Meski tidak sebesar MCA, Universal atau MGM,
tetapi perusahaan film ‘Dreamworks’ yang dikuasai oleh David Geffen,
Steven Spielberg, dan Jeffry Killwnberg, dikenal dengan film-film mereka
yang menggunakan manipulasi gambar yang memukau para penggemarnya di
seluruh dunia.
Rupert Murdoch
Tiga siaran televisi terbesar di dunia, ABC, CBS, dan NBC, melalui
merger kerajaan media-elektronika, ketiga siaran televisi ini tidak lagi
independen. Kini ketiganya dibawah kontrol Yahudi: ABC dipimpin oleh
Leonard Goldenson, CBS oleh Laurence Tisch, dan NBC oleh Robert Sarnoff.
Selama beberapa dasawarsa ketiga siaran televisi ini dikelola dari
puncak sampai ke bawah oleh orang-orang Yahudi, dengan demikian watak
keyahudiannya tidak akan pernah berubah, meski pemilikannya di kemudian
hari mungkin saja beralih tangan. Penampilan kepentingan Yahudi terutama
sangat menonjol dalam dunia televisi, yang merupakan media yang paling
mudah mempengaruhi pendapat dan sikap masyarakat. (Sumber:
www.soulpower.web.id)
Media Massa Indonesia Terkontaminasi?
Sejak pemerintahan Gus Dur, Departemen Penerangan RI dibubarkan.
Alasannya berkaitan dengan ketidaksukaan Gus Dur terhadap kehadiran
semacam sarana propaganda resmi pemerintah yang berkuasa. Yang kedua,
berkaitan dengan gagasan tentang perlunya kebebasan pers sebagaimana
mestinya. Dan dalam kondisi tiadanya lembaga Penerangan Resmi Milik
Negara maka kompetisi pihak swasta sangat dimungkinkan berkembang lebih
semarak di Indonesia. Tak lama lagi, industri media, baik cetak atau
televisi, akan dipenuhi oleh modal, konsultan, dan bahkan pekerja dari
luar negeri. Perusahaan-perusahaan besar dibidang penyiaran yang semula
dikuasai pengusaha lokal seperti RCTI, SCTV, INDOSIAR dan lain-lain ,
juga akan berganti majikan dan dimiliki pemodal asing.
Dari investor asing yang paling siap dan yang pasti tidak akan
melepaskan kesempatan terbukanya investasi di bidang informasi yang
memiliki pasar menjanjikan di Indonesia adalah para pemain dari jaringan
yang sudah kuat dan dominan di dunia yaitu jaringan yang dimilik
orang-orang Yahudi. Apalagi Gus Dur mempunyai keinginan membuka jalur
perdagangan dengan bangsa Israel. Cocok iwak ndok dengan keinginan
jaringan raja media milik orang-orang Yahudi untuk membuka pasar di
Indonesia
I. STUDI DAN ANALISIS KASUS
Kasus-Kasus Penyimpangan Makna Jihad di Media Massa Nasional
a. Kasus Jihad Versi Majalah Tempo
Majalah Tempo pernah menanggapi maraknya aksi rencana jihad ke
Afghanistan untuk melawan Amerika Serikat. Pada tanggal 7 Oktober 2001,
majalah Tempo membuat kover dengan judul singkat: “JIHAD?” dan laporan
utamanya berjudul “Seruan Jihad Setengah Nada”. Pada kalimat pertama
berita utama itu berbunyi,”Ada seruan dan pendaftaran untuk berjihad di
Afghanistan, tapi biasanya hanya ‘gertak sambal’.”
Majalah Tempo terkesan sinis terhadap berbagai gerakan umat Islam di
Indonesia untuk melawan kebijakan-kebijakan Amerika Serikat. Hal itu
bisa dilihat dalam kolom “Opini” pada halaman 17-18 edisi 7 Oktober
2001. Disitu, Tempo menuliskan,
“Bagi mereka yang belakangan ini sibuk mendaftar untuk berjihad, ada
baiknya membuka kembali kitab-kitab lama. Utamanya adalah kisah Ali bin
Abi Thalib, khalifah terakhir dan kelaigus menantu Nabi Muhammad saw..
Ada sejumlah kejadian yang layak untuk menjadi renungan.
Alkisah, dalam sebuah peperangan, Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.
bertarung dengan seorang musuh. Lawan yang berniat menghancurkan Islam
itu bisa dipukul jatuh dan Khalifah Ali pun siap menetakkan pedang untuk
menghabisi seterunya itu. Namun tanpa diduga. Sang seteru malah
meludahi muka Khalifah Ali sehingga menyalakan api kemarahan pahlawan
Islam ini. Tentu saja semangatnya untuk menghabisi musuh semakin
berkobar. Tapi, sebelum pedang diayunkan; Khalifah Ali mengucapkan
istighfar dan mengurungkan sabetan pedangnya. Lawan yang sudah tanpa
daya itu dibiarkannya tetap hidup.”
Belakangan ketika ditanya para pengikutnya sosok yang dikenal gagah
berani ini menjelaskan mengapa ia tidak jadi membunuh. Khalifah Ali bin
Abi Thalib khawatir jika ia menewaskan seseorang bukan karena membela
Islam melainkan sekedar pemuas kemurkaannya. Membunuh karena marah
adalah dosa besar, sekalipun yang dibunuh adalah orang jahat. Islam
adalah ajaran damai dan hanya melakukan kekerasan untuk membela diri.”
Banyak hal yang bisa dilihat dari kutipan kolom “Opini” di Tempo itu.
Jika dilihat dari sisi kaidah dalam jurnalistik, yang paling utama
dalam menyajikan berita adalah akurasi fakta, bukan opini yang
dikembangkan berdasarkan fakta tersebut. Apalagi ada beberapa fakta yang
jelas-jelas salah yang dituliskan oleh Tempo. Misalnya, sebutan Tempo
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah terakhir. Anggapan ini
jelas-jelas salah sebab sepeninggal Ali masih banyak khalifah kaum
muslimin, bahkan ada yang dikenal sebagai khalifah yang adil dan sangat
berjasa dalam perkembangan Islam. Hal ini membuktikan bahwa Tempo sangat
minim pengetahuannya tentang sejarah Islam.
Ungkapan Tempo bahwa “membunuh karena marah adalah dosa besar,
sekalipun yang dibunuh adalah orang jahat” dan bahwa “Islam adalah
ajaran damai dan hanya melakukan kekerasan untuk membela diri” belum
tentu benar kalau pernah diucapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Sikap Ali
bin Abi Thalib dalam kisah tersebut memang menunjukkan tingkat
ketinggian ketaqwaannya. Akan tetapi, dalam peperangan tidak ada
larangan untuk membunuh musuh. Apa benar Islam hanya melakukan kekerasan
kalau diserang? Tidak. Kita bisa membaca sejarah seluruh peperangan
yang dilakukan oleh Nabi saw. Nabi tidak selalu menunggu diserang lebih
dahulu ketika mengangkat bendera peperangan. Semestinya kalau logika ini
dipakai oleh umat Islam, tidak ada dalam sejarah pasukan Thariq bin
Ziyad yang bisa menaklukkan sebagian besar benua Eropa.
Sejumlah pihak di Indonesia sering kali menyatakan bahwa tidak ada
agama yang mengajarkan kekerasan. Kampanye bahwa Islam adalah agama
perdamaian dan tidak mengahalalkan kekerasan, dilakukan dengan gencar,
padahal agama Islam ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Dalam
sejarah Islam, Ali bin Abi Thalib kadang tampil sangat lembut, tetapi
dalam kasus lain, beliau bersikap sangat tegas dan keras. Contohnya
dalam kasus hukuman terhadap pelaku homoseksual, Ali bin Abi Thalib
berpendapat, “Pelaku homoseksual harus dibakar dengan api.” Khalifah Abu
Bakar yang dikenal sangat santun dan lembut pun, juga menyetujui
pendapat Ali itu.
[2]
Tempo dalam menggambar sifat Islam hanya mengambil contoh-contoh yang
sepotong-sepotong saja pada satu atau dua tokoh muslim. Padahal dalam
menghadapi kaum non-muslim, Nabi Muhammad saw. juga memiliki banyak
sisi, tergantung kepada siapa yang dihadapi. Terhadap orang non-muslim
yang tidak memusuhi Islam dan tunduk dibawah pemerintahan Islam,
Rasulullah saw. bersikap sangat baik. Beliau katakan “Barang siapa
menyakiti seorang dzimmi
[3], sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.”
[4]
Tuduhan Tempo bahwa sebagian umat Islam telah melenceng menggunakan
makna jihad, sangat tidak beralasan. Penggalangan seluruh kekuatan
fisik, peralatan perang, harta, dan sebagainya untuk menghadapi
musuh-musuh umat Islam justru hal yang sangat diperintahkan oleh ajaran
Islam.
Masalah jihad ini sudah banyak dibahas dalam kitab-kitab tafsir,
hadits, dan fikih Islam. Jihad yang tertinggi tingkatannya adalah jihad
di medan perang, sehingga orang yang meninggal di medan jihad disebut
dan diperlakukan sebagai syahid. Ada perlakuan khusus terhadap jenazah
syahid, seperti tidak perlu dimandikan.
Selain itu, Tempo juga menulis, “Ironisnya, cara Islami justru sudah
ditunjukkan oleh kalangan non-muslim. Pendekatan yang dilakukan presiden
Bush di Amerika Serikat, Toni Blair dan Pangeran Charles di Inggris,
dan pimpinan negara non-Islam lainnya kepada masyarakat muslim setempat
adalah kasus nyata.”
Menurut analisis penulis, penyataan yang dibuat Tempo ini sangatlah
aneh, sepertinya sengaja membutakan diri terhadap berbagai aksi
kejahatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan kawan-kawannya di
Palestina, Irak, Libya, dan sebagainya. Belum lagi ribuan kasus
penganiayaan, pembunuhan, dan pelecehan terhadap kaum muslim yang
terjadi di Amerika. Tempo terang-terangan telah melakukan pengkultusan
terhadap Amerika Serikat dengan menyebarkan fitnah-fitnah untuk
menjatuhkan martabat umat Islam.
b. Terorisme Versi Kedubes AS dan Tempo
Pada akhir tahun 2001, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS)
menyebarkan sebuah pamflet yang berjudul “Jaringan Teroris”. Pamflet itu
disebarkan secara luas oleh Kedubes AS di Jakarta ke berbagai kalangan
umat Islam dan media massa. Jika diteliti, pamflet itu berisi kebohongan
dan propaganda untuk membela kepentingan AS. Di awal pamflet
tertulis,”Kedutaan Besar AS menyampaikan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada TEMPO atas kerjasamanya dalam proyek ini.”
Di awal pamflet ini ada tulisan seorang bernama Donald K. Emmerson
yang secara terang-terangan melakukan pembelaan terhadap kebijakan
politik AS di Palestina dan di beberapa negara lainnya. Pimpinan Redaksi
Majalah Tempo, Bambang Harimurti memberikan klarifikasi bahwa secara
kelembagaan maupun perorangan, Tempo tidak terlibat dalam pembuatan
pamflet tersebut, namun Tempo memang memberikan izin kepada Kedubes AS
untuk memuat secara utuh kolom Donald K. Emmerson dalam pamflet
tersebut. Bambang mengatakan,”Perlu saya jelaskan bahwa di majalah Tempo
berlaku kebijakan umum untuk memberikan izin kepada pihak-pihak yang
ingin mengutip isi majalah Tempo yang telah terbit selama menjelaskan
sumbernya dengan jelas.”
Dalam pamflet tersebut banyak mengandung kebohongan, Donald
jelas-jelas membela Amerika dengan membantah bahwa politik luar negeri
AS sangat anti-Islam serta mengatakan bahwa campur tangan AS di
Palestina adalah bentuk kepedulian untuk mencari jalan damai antara
Israel-Palestina.
Menurut Paul Findley, tindakan AS yang setia mendukung Israel adalah
bentuk hubungan yang membahayakan masa depan AS sendiri. Dia
mengatakan,”AS memberikan dukungan, yang tanpa dukungan itu, israel
tidak akan mampu melanjutkan penindasan atas hak asasi manusia dan
ekspansi wilayahnya.
[5]
Yang lebih berbahaya lagi, pamflet itu mengutip sejumlah ulama Islam
secara sepotong-sepotong sehingga menimbulkan kesan bahwa ulama itu
mendukung kebijakan anti-terorisme AS. Yang menjadi korban kutipan itu
adalah Yusuf Qaradhawy, “Islam adalah agama yang toleran, yang
menempatkan jiwa manusia dalam rasa hormat yang tinggi dan menganggap
serangan terhadap orang yang tak bersalah sebagai dosa yang sangat
besar…” (hlm. 2). Di halaman 19 ditulis,”Syekh Yusuf al-Qaradhawy asal
Qatar telah mengutuk serangan teroris dan berkata sudah menjadi tugas
kaum muslimin untuk menyeret para pelaku kejahatan itu untuk diadili.”
Pamflet ini sangat tidak jujur dalam mengutip pendapat Yusuf
Qaradhawy, seolah Qaradhawy bersikap pro-AS, padahal dalam salah satu
wawancara dengan TV Al-Jazeera, Qaradhawy mengharamkan tindakan yang
mendukung seragan terhadap negeri muslim. Dia berkata,”Seorang muslim
harus memiliki kemuliaan dan harga diri di hadapan AS, tidak menolong
dan membantu AS untuk menyerang saudara-saudara mereka kaum muslimin,
atau membantu memberi data dan petunjuk bagi AS, dan membuka semua
rahasia saudaranya untuk mencapai kekuasaan.”
[6]
Bahkan Qaradhawy pernah berfatwa bahwa bom syahid bagi pejuang
Palestina untuk menghancurkan markas-markas Israel adalah sebuah aksi
syahadah. Sedangkan Israel dan AS menyebutnya sebagai aksi terorisme.
Artinya Qaradhawy tak pernah punya indikasi dalam statemen-statemennya
untuk membela AS dan musuh-musuh Islam lainnya.
Menyimak fakta-fakta seperti itu, maka pencantuman nama Qaradhawy
adalah tindakan tidak fair dan menyesatkan opini masyarakat.
Memanipulasi fatwa dengan mengambilnya sepotong-sepotong untuk dimaknai
yang tidak semestinya untuk membela kepentingan Amerika. Mereka
bertujuan untuk membutakan pembaca terhadap aksi-aksi kejam AS di
Afghanistan, Palestina, Irak, Iran, Afsel, dll. Prof. Noam Chomsky,
seorang pakar linguistik dari MIT pernah mengomentari serangan AS ke
Afghanistan bahwa itu merupakan tindakan terorisme yang lebih kejam dari
serangan 11 September 2001.
[7]
c. Hubungan Jawa Pos dengan Paham Islam Liberal
Koran Jawa Pos ternyata juga memiliki akses yang jika
ditelusuri lagi sangat dekat dengan opini-opini bentukan Barat tentang
ke-Islaman. Lihat saja rubrik ”Kajian Utan Kayu” di halaman 4 harian
Jawa Pos yang terbit tiap Minggu sekitar pertengahan tahun 2001. Malah,
pada bulan Ramadhan tahun itu, terbit tiap hari dengan tajuk ”Telaah
Ramadhan”. Rubrik itu merupakan hasil kerja sama Kajian Islam Utan Kayu,
Jakarta, dengan Jawa Pos dalam rangka kampanye Islam Liberal.
Perlu dijelaskan bahwa Islam Liberal adalah suatu paham yang mengaku
beragama Islam namun mengadopsi pemikiran-pemikiran liberalisme ala
Barat. Mereka tergabung dalam sebuah organisasi bernama Jaringan Islam
Liberal (JIL). Sebagian besar aktivis-aktivis mereka selalu “salah
jurusan” dalam belajar mengenai Islam, karena mereka menimba ilmu Islam
bukan di negara-negara Timur Tengah tapi malah ke Amerika Serikat. Bukan
ke ulama-ulama yang menjadi rujukan Islam yang benar, tapi malah ke
para pakar Filsafat Barat yang non-muslim dan bisa dipastikan
kesesatannya.
Kedekatan Jawa Pos dengan Islam Liberal dengan maksud menyebarkan
ajarannya memang sudah bukan rahasia lagi. Ketika sedang gencar-gencar
wacana jihad dan terorisme diberedar di mana-mana, seringkali dalam
berbagai kajiannya berusaha mempropagandakan bahwa Islam itu agama yang
damai, toleran, tidak suka kekerasan, bersaudara dengan non-muslim
bahkan dalam prakteknya mereka menjunjung tinggi martabat orang-orang
non-muslim. Media massa seperti Jawa Pos ikut mengamini
pendapat-pendapat seperti itu sebagaimana Majalah Tempo pada contoh
kasus sebelumnya.
d. Dampak Lain Manipulasi dan Kontrol Media Barat
Sisi lain propaganda anti-Islam media-media massa Barat pasca tragedi 11
September adalah makin gencarnya aksi pelecehan terhadap simbol-simbol
agama Islam, bukan hanya masalah Jihad. Mereka berusaha memperburuk
wajah Islam di mata kalangan non-muslim dengan cara menghina ajaran
Islam dan menjadikannya sebagai lelucon. Contoh nyata adalah banyaknya
kartun/karikatur Nabi Muhammad saw. di berbagai situs internet milik
Barat dan komik-komik yang melecehkan Jihad yang juga banyak ada di
situs-situs mereka. Untungnya, pelecehan semacam itu justru memunculkan
hasil yang sebaliknya bahkan justru kian meningkatkan ketertarikan
sebagian publik Barat terhadap Islam. Propaganda anti-Islam media-media
Barat ini tidak sepenuhnya melemahkan keimanan masyarakat muslim
terhadap agamanya, tapi disisi lain malah memperkuat solidaritas umat
Islam sendiri. Di mata dunia Islam, propaganda anti-Islam semacam itu
merupakan bukti permusuhan Barat, khususnya Amerika Serikat terhadap
masyarakat muslim. Berdasarkan hasil jajak pendapat beberapa tahun
terakhir ini, tingkat kebencian masyarakat muslim di berbagai negara
terhadap pemerintah AS semakin meningkat.
II. PENUTUP
Ternyata sadar atau tidak kita sadari, media Barat yang ditunggangi oleh
kepentingan Yahudi telah banyak mempengaruhi media massa di Indonesia.
Mereka ikut mengekor pada aksi-aksi manipulasi-manipulasi berita demi
kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan tidak jarang melemparkan
isu-isu dan fitnah yang kejam terhadap umat Islam. Semoga dengan
analisis ini bisa memberikan manfaat dan pengetahuan bagi siapa saja
yang mempelajari dan mengamati media massa. Yang mana media massa bisa
saja digunakan untuk aksi-aksi manipulasi dan kontrol untuk
kepentingan-kepentingan tertentu.
III. DAFTAR PUSTAKA
As-Sahamrani, As’ad. Menyingkap Terorisme Dunia: Studi Literer-Empiris Atas Doktrin Ideologis Aksi Terorisme. Era
Intermedia, 2005.
Al Banna, Shofwan. Palestine: Emang Gue Pikirin?. Pro-You Media, Tanpa Tahun.
Dumyathi Bashori, Ahmad. Osama bin Laden Melawan Amerika. Mizan, 2000.
Husaini, Adian. Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra. Gema Insani, 2002.
Ridyasmara, Riski. Data dan Fakta Yahudi Di Indonesia: Era Reformasi. Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah.
Situs :
www.eramuslim.com
www.soulpower.web.id
www.infopalestina.com
www.hidayatullah.com
[1] Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, hlm. 8
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bab “Homoseks”.
[3] Sebutan untuk orang non-muslim yang ada di bawah naungan negara Islam.
[4] Hadits riwayat Thabrani
[5] Paul Findley, Deliberate Deceptions-Facing the Facts about the US-Israeli Relationship (1993), hlm.236.
[6] www.eramuslim.com
[7] Koran Tempo, 12 Nopember 2001.