Entri Populer

27 Juli 2012

MUHASABBAH TUJUAN PUASA RAMADHAN KITA

JurnalGhurabba -I khwah Fillah.. Setelah kita mengetahui bahwa wajibnya berpuasa bagi orang orang yang ber-Iman dibulan Ramdhan ini , kita juga harus mengetahui apa tujuan dari puasa Ramadhan kita tersebut.. sebagai mana Firman-Nya yang sudah masyur sekali dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183 Allah Subhan Wata’ala berfirman,yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, “ .

Ikhwah.. dari ayat diatas,jelas bahwa tujuan kita berpuasa itu hanyalah agar kita menjadi orang yang ber-TAQWA kepada Allah . kita dituntut selama 1 bulan penuh hanyalah untuk mendapat title itu dalam hidup kita . nah.. itulah tujuan kita berpuasa Ramadhan.

Berapa banyak disekitar kita lihat banyak orang yg berpuasa tetapi tidak mengetahui apa tujuan dari puasa ia tersebut . dalam berpuasa nya mereka masih berkata palsu (bohong) , mereka melakukan perbuatan yang sia sia dan kotor dan melakukan ibadah puasanya tanpa didasari keinginan untuk menjadi orang yg bertaqwa . sungguh merugilah orang-orang seperti itu,mereka berpuasa hanya mendapat lapar dan haus saja tidak berfaidah untuk diri dan Ke-Imanan-nya kepada Allah. sebagaimana Sabda Nabi Muhammad Shalallahi ‘Alaihi Wassalam : “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwahadist ini shohih ligoirihi -yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya.
Sungguh sangat disayangkan sekali orang yang berpuasa hanya mendapat lapar dan haus saja padahal dibulan ini lah kesempatan kita untuk menjadi orang yang bertaqwa karena Taqwa itu adalah kewajiban bagi seorang muslim yang harus dijalankan, karena Allah sudah memberi peringatan kepada kita bahwa janganlah kita mati sedang kita dalam keadaan Muslim dan itu hanyalah didapat dengan kita bertaqwa kepada Allah, sebagaiman Firman-Nya,yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS.Ali-Imran : 102 ) . Apalah arti hidup yang singkat ini tanpa kita landasi dengan ketaqwaan kepada Allah .
Dalam risalah yang singkat ini , marilah kita sama sama ber-muhasabbah diri terhadap puasa kita agar puasa dibulan Ramadhan kali ini tidak sia sia agar setelah Ramadhan kita menjadi orang yang berTaqwa kepada Allah , taqwa dalam arti kita menjalankan semua perintah Allah,Tunduk pada aturan aturan-Nya serta meninggalkan segala Larangan-Nya. Sehingga setelah Ramadhan kita dari yang berakhlak Mazmumah menjadiAkhlakul karimah, kita menjadi sering Shalat di Masjid dan gemar sekali melakukan amal Shalih.
Barakallahifiik.. Wallahu ‘Alam Bishowab

Penulis : Aldo Kahfi

21 Juli 2012

Jaddidu imanakum (Perbaharui Iman Kalian)

JurnalGhurabba- Ikhwani  wa akhawtii fillah Rahimakumullah.

Ahlu Sunnah Wal Jama’ah mengatakan bahwa: “Iman itu adalah Ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” [Imam Al Bukhari]

Maka kemuliaan dan keterpujiaan seseorang berkaitan erat dengan kesungguhannya dalam menambah dan meningkatkan iman. Dan perkara yang paling berpotensi menambah dan menguatkan iman adalah ‘ILMU’, kemudian AMAL SHALEH dan ZIKRULLAH. Maka tiap kali seorang hamba menambah ilmu dan amal solehnya berarti dia sedang memperbaharui imannya dan inilah yang dimaksud oleh hadits Rasulullah Saw dalam sabdanya:

“Perbaharuilah iman kamu, beliau ditanya: “bagaimana kami memperbaharui iman kami, beliau menjawab: “perbanyaklah mengucapkan kalimat laa Ilaha Illallah. “ [HR. Ahmad : 8944 dan Al Hakim : 7766]


Allah Swt berfirman yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu dengan Allah dan Rasul Nya dan dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu…….!” [QS. An Nisa' : 136]

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Ayat ini tidak terkait dengan tahsil al hashil (yakin agar mereka beriman; karena mereka memang sudah ada pada orang-orang mukmin), tetapi terkait dengan takmil al kamil (yakin agar mereka mempunyai iman bertambah diatas yang sudah ada). Jadi dengan mudah dan sederhana hadits diatas menjadi tafsiran bagi ayat yang sedang dikaji ini.

Perbaharuan iman sangatlah penting bagi setiap muslim, apalagi para aktivis dakwah dan para Mujahid fiesabilillah. Sebabnya ialah kesibukan rutinitas, sering kali didapati kesibukan dalam menjalankan tugas-tugas dakwah, ditambah lagi kesibukan mencari nafkah atau mengurus rumah tangga, para aktivis dakwah dan mujahid tidak sempat lagi “megurusi” Qalbunya (hatinya). Tahu-tahu qolbunya sudah “hitam pekat”; dipenuhi dengan noda akibat dosa-dosa kecil ataupun berbagai kelalaian yang tidak terasa sering ia lakukan.

Dari Abu Hurairah Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya orang mukmin apabila melakukan suatu dosa terbentuklah bintik hitam didalam hatinya. Apabila ia bertaubat, kemudian menghentikan dosa-dosanya dan beristighfar bersihlah daripadanya bintik hitam itu. Dan apabila dia terus melakukan dosa bertambahlah bintik hitam pada hatinya sehingga tertutuplah seluruh hatinya, itulah karat yang disebut Allah didalam kitabnya: “sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan telah menutup hati mereka.” [QS. Al Mutaffifin : 14]. [HR. Al Baihaqi]

Kata Imam al Ghazali, Qalbu itu ibarat cermin. Saat seseorang melakukan dosa/maksiat, maka ada satu nukhtoh hitam menodai Qalbunya. Semakin banyak dosa, semakin banyak nutoh itu menutupi Qalbunya. Jka sudah tertutupi banyak nukhtoh hitam, Qalbu yang ibarat cermin itu tidak bisa lagi digunakan untuk bercermin; untuk “mengaca diri” dan mengevaluasi diri. Saat demikian, kepekaan spiritual biasanya, akan lenyap dari dirinya. Jika sudah seprti itu, jangankan dosa kecil, apalagi sekadar berbuat makruh dan melakukan banyak hal mubah yang melalaikan, dosa besar sekalipun tidak lagi dianggap besar. Jangankan meninggalkan hal sunnah, meninggalkan kewaibanpun sudah dianggap biasa. Pasalnya, kepekaan Qalbunya nyaris hilang; tidak lagi mampu mendeteksi dosa, apalagi dosa yang dianggap kecil.

Padahal, lihatlah kepekaan Abu Utsman An Naisaburi. Suatu saat, pernah sandalnya putus dalam perjalanannya untuk shalat jum’at dan ia butuh waktu satu jam untuk memperbaikinya. Lalu ia berkata, “Sandal ini putus mungkin karena aku tidak mandi hari jum’at.”

Seorang generasi salaf juga pernah berkata, “Aku pernah mengnggap sepele sesuap makanan (yang syubhat), lalu aku memakannya. Sekarang, aku seperti kembali ke empat puluh tahun yang lalu.”

Demikianlah. Maksiat itu tidak jarang melahirkan maksiat yang lain. Jika maksiat sering dikerjakan maka terjadilah akumulasi maksiat. Dosa-dosa kecilpun akhirnya menjadi besar.

Pengabaian perkara ini secara berturt-turut tanpa penanganan serius sering menjadikan aktivis dakwah dan jihad berkurang kadar “keimanan” dan amal-amal batiniyahnya, semisal ikhlas. Bahkan amaliah batin lainnya – seperti jujur, yakin, zuhud, tawakkal, takut, taubat, berserah diri dan cinta kepada Allah Swt – mungkin juga hilang dari dirinya. Semua itu sering terjadi karena ia mengabaikan Qalbunya dalam kondisi demikian, boleh jadi seorang aktivis dakwah menjadi hanya banyak berkata-kata yang tidak berguna, makan secara berlebihan, berinteraksi dengan orang lain bukan demi kemaslahatan dakwah dan jihad, banyak tidur dan bermalas-malasan, menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak ada faedahnya-meski pun mungkin tidak melakukan perkara yang haram atau makruh dan syubhat.

Akibat lanjutannya, nuansa spiritual hilang dari kehidupannya. Dakwahnya terjebak dalam rutinitas. Pengaruhnya tak lagi membekas. Kata-katanya kering dari nilai ruhaniyah. Retorikanya tak lagi menggugah, apalagi mendorong orang untuk segera menjemput hidayah dan bertaqorrub kepada Allah. Bahkan tidak jarang, ghirah dakwahnya menurun dan himmahnya pun tak lagi menyala-nyala; sedikit demi sedikit meredup hinga akhirnya padam.

Seorang aktivis dakwah yang mengalami hal-hal semacam itu tentu tidak boleh terlena dan berdiam diri. Ia harus segera bangkit dan memperbaharui imannya.

Banyak sarana yang bias digunakan untuk memperbaharui iman. Sekadar contoh;  ziarah kubur; mengunjungi orang-orang shalih, orang-orang bertakwa, ulama terpercaya, para mujahid dan orang-orang ikhlas; membaca sekaligus menyilami sirah generasi salaf, para ahli ibadah, orang-orang zuhud, para mujahid, para pembela kebenaran, orang-orang sabar dan orang-orang bersyukur; meningkatkan porsi ibadah; menyendiri (ber-khalwat) setiap hari atau dari waktu kewaktu walaupun Cuma sebentar; memperbanyak khatam Al Qur’an, berdoa, qiyamullail, bersedekah lebih banyak dari pada sebelumnya; dsb.

Membaca biografi mujahid seperti Khalid bin al-Walid, misalnya, akan mampu membuat seorang aktivis dakwah meremehkan dunia, syahwat dan kenikmatannya yang bersifat sesaat; membuat dirinya selalu mencintai kematian, tentu di jalan kemuliaan.

Membaca biografi orang-orang zuhud dan shaleh akan menumbuhkan kezuhudan dan kesalihan dalam Qalbunya. Membaca biografi para ahli ibadah akan mampu mendidik jiwa untuk gemar melakukan qiyamullail, shaum sunnah, zikir, berdo’a, khusyuk dan menangis karena takut Allah Swt. Membaca biografi orang-orang yang gemar bertobat dapat menumbuhkan benih-benih tobat dalam Qalbunya; juga membuka kran-kran air mata penyesalan pada dirinya yang tadi tidak kenal menangis karena takut Allah Swt.

Saran lain untuk memperbaharui iman adalah menyendiri (ber-khalwat) dengan dirinya sendiri; di luar qiyamullail, zikir dan membaca Al Qur’an. Disebutkan dalam salah satu atsar bahwa orang berakal mempunyai empat waktu. Salah satunya ialah saat ia menyendiri. (khalwat).

Ber-khalwat sangat urgen bagi aktivis dakwah. Dengan ber-khalwat ia dapat ‘berduaan’ dengan Allah Swt, damai dan dekat dengan-Nya. Dengan ber-khalwat aktivis islam juga dapat mengevaluasi dirinya. Ketika ber-khalwat ia ingat akan dosa-dosa sekaligus menumpahkan air mata penyesalan dan tobat kepada-Nya; malu, cinta dan tunduk kepada kebesaran-Nya.

Semua upaya itu, insya Allah, akan mengembalikan kepekaan spiritual dalam diri seorang aktivis dakwah. Karena setiap waktu imannya adalah iman yang selalu baru; iman yang semakin menghujam dalam Qalbu.

Wama taufiqi illa billah.

 Oleh Ust. Abu Jibriel Abdurrahman

Sumber : http://abujibriel.com/2009/04/jaddidu-imanakum-perbaharui-iman-kalian/